Hari keramat
10-10-2010
Juara 2 Lomba Cerpen Tingkat Nasional 2012
“Cie – cie...”
“huuu...”
Suara gaduh nan mengusik gendang telinga, terdengar menyeruak dari ruang
kelasku. Aku tertekan. Batinku tersiksa. Apalagi, ketika ku lihat wajahnya yang
pucat berubah kemerahan. Aku takut, hubungan pertemananku dengannya akan
renggang akibat ulah calon – calon bajingan itu. Serasa ingin menjerit kepada
sang alam, bahwa Ini hanya salah paham, salah paham yang tiada ujungnya.
***
Desikan
ilalang menemani siang hariku. Aku terdiam, merenungi semua. Di bawah pohon
rindang inilah, aku dapat meluapkan isi hatiku. Pohon yang aku panggil mbah
buyut. Memang agak lucu, namun pas untuk sosok yang hampir sama dengan almarhum
mbah buyutku. Ia adalah pohon kersen. Pohon yang berbuah lebat, berdaun hijau
dan bertangkai kuat. Padanya aku berbagi apa saja yang terjadi pada diriku. Seperti
aku saat ini, yang sedang bimbang oleh masalah aneh yang tak pantas untuk di
permasalahkan. Aku terjebak dalam lubang hitam menyesatkan yang di buat oleh karib
- karibku. Harus bagaimana aku? Aku ingin pertahankan semua seperti sedia kala,
sehingga tak sakiti hatinya. Seperti ku pertaahankan posisi dudukku saat ini,
dengan ku kalungkan tanganku pada kaki – kaki kecilku. Tentu saja agar aku tak
terjatuh kebelakang dan tak menindih orang lain pula. Namun, terlalu sulit
untukku meluruskan benang yang saat ini telah berbelit kacau.
Matahari
terlihat sudah bosan melihatiku yang duduk dihadapannya. Kini saatnya ia
beristirahat. Mungkin aku juga. Beristirahat sejenak untuk melanjutkan hidupku esok. Sambil berjalan pulang, aku yang
harusnya fokus pada langkah – langkahku, malah terganggu oleh suatu bayangan.
Senyumannya... terlalu manis untuk di hapus. Aku tak tahu mengapa pikiranku
bisa tersangkut pada Ratna. Haaahhh.. mungkin aku hanya kasihan dengannya yang
juga ikut menderita akibat kesalah pahaman ini. Atau... aku... ahhhh..
sudahlah, tidak penting.
“Dari
mana saja Ki?”
“Emmm...
habis dari Mbah Buyut Mbok”
“Lagi
– lagi kamu panggil pohon kersen tua itu Mbah Buyut, kamu ada – ada saja to le.”
“Setelah
Mbah Buyut meninggal, hanya pohon itu Mbok, yang dapat memberi Kiki nasihat”
“Memang
Mbokmu ini tak pernah memberimu nasihat?”
Tanpa
jawaban, kuabaikan si mbok yang sedang menggerutu tidak karuan. Si Mbok terlalu
sibuk dengan urusannya sendiri, tak tega aku mengganggunya dengan curhatanku
yang tak penting ini. Aku melangkah menuju kamarku yang tak jauh dari tempat si
Mbok berjualan. Dan aku terbaring di apit dua guling yang selalu temani malam
- malamku. Aku memejamkan mataku dan ku
bayangkan kembali hal yang membuat masalah ini menyulit.
Saat
itu 10 oktober 2010, hari yang keramat menurut orang – orang. Tapi menurutku
tak beda dengan hari lain. Memang, ada sedikit yang beda, hari ini aku harus ke
kota untuk mengambil pesanan si Mbok. Aku yang takut kesiangan, semakin keras
menggenjot sepeda kunoku. Walau toh, hasilnya juga tak seberapa.
Bangunan
pencakar langit telah tampak di keramaian, ini tanda bahwa mol tujuan tak jauh
lagi. Kurang dari sepuluh menit, aku dan sepeda kunoku sampai di mol Payunggalih,
salah satu mol besar di kota Batam. Aku segera turun dan menuju eskalator untuk
menuju lantai empat. Kebetulan, alias sialnya, eskalator yang menjadi
langgananku tak dapat berjalan, ada sedikit masalah. Hmmm.. lalu, kedua matau
tertuju pada pintu lift yang berada
di sudut kiri mol itu. Sekali – kali, coba lah, untuk menambah pengalaman.
Karena, aku belum pernah sekalipun menyentuh benda yang orang – orang
menyebutnya lift itu. Dengan yakin
aku menghampiri benda berpuntu dua tersebut, dan ada dua tombol di sana dengan
arah keatas dan kebawah. Aku kan mau keatas, ya kutekan tombol keatas saja.
Benar – benar, pintunya terbuka.
“Kiki,
ngapai kamu disini?”
“eh
Ratna, ada pesenan dari si mbok ni, kamu sendiri?”
“lagi
cari buku aja dari lantai lima, tapi sepertinya ada yang ketinggalan, jadi
sepertinya aku harus balik deh”
“oh..
ya udah, bareng aja sekalian”
Perbincangan
kami semakin menghangat dan tak terasa sudah setengah jam kita berbicara
ditemani suasana romantis dalam lift. Kami
mulai heran kenapa lift ini lama
sekali berjalannya. Hampir seperti berhenti. Kami hanya terdiam sambil berpikir
positif. Namun, takdir berkata lain, dugaanku benar lift ini berhenti bergerak.
Ku lihat keringat di pipi Ratna semakin deras bercucuran dan raut paniknya tak
dapat di tutup – tutupi lagi.
“Braaaak...
Braaak.. tolong – tolong...”
“tenang
Rat, mereka pasti mengerti keadaan kita yang terjebak saat ini”
“diam
kamu, bagaimana mereka bisa mengerti kalau tak ada seorangpun yang membuat
mereka mengerti”
Dia
mulai berteriak menggedor – gedorkan tangan kecilnya ke pintu lift macet ini.
Ku coba mencegahnya dan menurunkan kepanikannya, tapi tak di hiraukannya.
Karbondioksida
mulai mencekik alveolus. Ratna yang tak kuat akan cekikannya mulai terkapar tak
berdaya. Segera ku gapai tangannya dan ku dekap erat – erat tubuhnya. Ini
membuat detak jantungku semakin berdetak kencang, entah karena aku yang tak
pernah memandang wanita sedekat ini, atau karena udara yang menipis. Sampai
sekarang masih misteri.
Aku
heran, mengapa tak ada seorangpun yang peduli akan nasib kita saat ini. Tapi,
keadaan ini tak membuatku untuk berteriak minta tolong, bahkan rasanya ingin
pertahankan posisi ini. Hingga beberapa jam berlalu, cahaya mulai terlihat dari
celah pintu lift yang menjebakku.
Terlihat banyak orang yang berada di depan mulut lift. Kali ini dugaanku salah,
ternyata Jeritan ratna tadi sempat membingungkan orang luar. Satpampun segera
mengangkat kami yang setengah sadar. Terlihat sepintas teman sekelasku yang
bernama Isti di sana, tapi Ia segera pergi. Aku bertanya dalam hati, tapi ini
tak penting, mungkin ia pergi karena ada urusan.
Satu
jam berlalu dengan hebatnya. Kami yang setengah sadar kini telah sepenuhnya
sadar. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap pergi ke sekolah, walau kami tahu
ini sudah terlalu siang. Kebetulan sekolah kami sama, hanya beda kelas saja.
Ranta di sepuluh satu dan aku di sepuluh dua. Tak jauh lah. Kamipun beranjak
kesekolah dengan sepedaku. Banyak orang yang melihatiku namun kubiarkan saja.
Aku tak mengenal mereka.
Cobaan
hari ini berlanjut ketika kami tahu bahwa gerbang sekolah telah terkunci rapat.
Kami mencoba memanggil satpam yang berada di dalam pagar dan Iapun membukakan
gerbangnya. Kami mulai tenang. Namun, keadaan berubah total ketika satpam itu
mengucapkan kata – kata dengan nada tingginya.
“Ayo
cepat masuk...! pacaran terus. Kamu pikir ini sekolah mbok kamu apa? Jam segini
baru berangkat?”
Aku
coba menerangkan kejadian di lift
pagi tadi. Tapi ceritaku berakhir di tiang bendera. Kami yang masih agak lemas,
harus menerima hukuman dari satpam sialan yang tak mau tau alasan orang. Yah..
apa boleh buat. Ini mungkin hari terburukku. Hari keramat yang memang buruk
bagiku.
Ku
lihat teman – temanku yang berlalu lalang di depanku sambil tersenyum aneh.
Mereka seperti membicarakan sesuatu. Anehnya, Isti juga ikut dalam pembicaraan
itu. Apa mereka bicarakan aku? Mungkin iya. Hah.. sudahlah.. tidak penting.
Sesekali
aku pandangi lagi wajah Ratna yang sempat mampir dipundakku tadi. Ia terlihat
sangat pucat. Aku sebenarnya tak tega. Tapi, keadaan memaksaku untuk merelakan
senyum manisnya berubah menjadi pucat.
Akhirnya,
waktu penyiksaan kami telah berakhir dan kami kembali ke kelas kami masing –
masing. Sorak ramai teman – teman mengagetkanku seketika. Sempat terdengar pula
teriakan Isti, “yang abis mesra – mesraan di lift, jadi pengen... hahaha...”. tak kusangka bahwa perkataan
satpam tadi juga kudengar dari teman – temanku. Aku bingung dengan semua. Isti
memang benar – benar ratu gosip termasyur, bahkan gosipnya tak memandang ketika
itu dalam suasana terdesak atau tidak. Ini semakin parah karena perkataan Isti
telah di cerna dalam pikiran teman – temanku.
Kesalah
pahaman ini berlanjut dan semakin menyubur, ketika kelas sebelas aku harus satu
kelas dengan Ratna. Walau Isti sudah jauh dari kita, namun gosipnya terlanjur
meluas hingga tak perlu dipimpinpun sorakan ramai itu sudah otomatis keluar
dari mulut teman – teman, ketika ada hal yang menyangkut aku dengan Ratna. Aku
tahu Ia tertekan, toh aku juga merasa hal yang sama. Rasanya, penjelasan dari
mulutku sendiripun tak akan dapat merubah penilaian mereka atas kecelakaan
kecil di hari keramat itu. Mungkin, seharusnya aku percaya akan hari sakral itu,
sehingga aku tak terkena imbasnya.
Kini
aku hanya dilumuri beribu pertanyaan dalam hati. Mengapa aku merasa tertekan
ketika mereka menghinaku? Mengapa jantungku berdetak kencang ketika di
dekatnya? Apakah Ia juga merasa hal yang sama sepertiku? Apakah benar penyebab
masalah ini ialah hari keramat itu? Semua masih menjadi misteri dan tersimpan
rapi di dalam hatiku. Mungkin, di balik kesalah pahaman ini, ada rasa yang
tersembunyi. Entah suka, sedih, cinta, bahkan benci.
Malam
ini saatnya tidur, menyegarkan memori untuk bersiap mengumpulkan cerita esok. Aku
yakin mbah buyut tak sabar mendengarkan ceritaku.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar