Sabtu, 03 Mei 2014

Cerpen - Hari keramat 10-10-2010



Hari keramat 10-10-2010
Juara 2 Lomba Cerpen Tingkat Nasional 2012
 
 “Cie – cie...”
“huuu...” Suara gaduh nan mengusik gendang telinga, terdengar menyeruak dari ruang kelasku. Aku tertekan. Batinku tersiksa. Apalagi, ketika ku lihat wajahnya yang pucat berubah kemerahan. Aku takut, hubungan pertemananku dengannya akan renggang akibat ulah calon – calon bajingan itu. Serasa ingin menjerit kepada sang alam, bahwa Ini hanya salah paham, salah paham yang tiada ujungnya.
***
Desikan ilalang menemani siang hariku. Aku terdiam, merenungi semua. Di bawah pohon rindang inilah, aku dapat meluapkan isi hatiku. Pohon yang aku panggil mbah buyut. Memang agak lucu, namun pas untuk sosok yang hampir sama dengan almarhum mbah buyutku. Ia adalah pohon kersen. Pohon yang berbuah lebat, berdaun hijau dan bertangkai kuat. Padanya aku berbagi apa saja yang terjadi pada diriku. Seperti aku saat ini, yang sedang bimbang oleh masalah aneh yang tak pantas untuk di permasalahkan. Aku terjebak dalam lubang hitam menyesatkan yang di buat oleh karib - karibku. Harus bagaimana aku? Aku ingin pertahankan semua seperti sedia kala, sehingga tak sakiti hatinya. Seperti ku pertaahankan posisi dudukku saat ini, dengan ku kalungkan tanganku pada kaki – kaki kecilku. Tentu saja agar aku tak terjatuh kebelakang dan tak menindih orang lain pula. Namun, terlalu sulit untukku meluruskan benang yang saat ini telah berbelit kacau.
Matahari terlihat sudah bosan melihatiku yang duduk dihadapannya. Kini saatnya ia beristirahat. Mungkin aku juga. Beristirahat sejenak untuk melanjutkan hidupku  esok. Sambil berjalan pulang, aku yang harusnya fokus pada langkah – langkahku, malah terganggu oleh suatu bayangan. Senyumannya... terlalu manis untuk di hapus. Aku tak tahu mengapa pikiranku bisa tersangkut pada Ratna. Haaahhh.. mungkin aku hanya kasihan dengannya yang juga ikut menderita akibat kesalah pahaman ini. Atau... aku... ahhhh.. sudahlah, tidak penting.
“Dari mana saja Ki?”
“Emmm... habis dari Mbah Buyut Mbok”
“Lagi – lagi kamu panggil pohon kersen tua itu Mbah Buyut, kamu ada – ada saja to le.”
“Setelah Mbah Buyut meninggal, hanya pohon itu Mbok, yang dapat memberi Kiki nasihat”
“Memang Mbokmu ini tak pernah memberimu nasihat?”
Tanpa jawaban, kuabaikan si mbok yang sedang menggerutu tidak karuan. Si Mbok terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, tak tega aku mengganggunya dengan curhatanku yang tak penting ini. Aku melangkah menuju kamarku yang tak jauh dari tempat si Mbok berjualan. Dan aku terbaring di apit dua guling yang selalu temani malam -  malamku. Aku memejamkan mataku dan ku bayangkan kembali hal yang membuat masalah ini menyulit.
Saat itu 10 oktober 2010, hari yang keramat menurut orang – orang. Tapi menurutku tak beda dengan hari lain. Memang, ada sedikit yang beda, hari ini aku harus ke kota untuk mengambil pesanan si Mbok. Aku yang takut kesiangan, semakin keras menggenjot sepeda kunoku. Walau toh, hasilnya juga tak seberapa.
Bangunan pencakar langit telah tampak di keramaian, ini tanda bahwa mol tujuan tak jauh lagi. Kurang dari sepuluh menit, aku dan sepeda kunoku sampai di mol Payunggalih, salah satu mol besar di kota Batam. Aku segera turun dan menuju eskalator untuk menuju lantai empat. Kebetulan, alias sialnya, eskalator yang menjadi langgananku tak dapat berjalan, ada sedikit masalah. Hmmm.. lalu, kedua matau tertuju pada pintu lift yang berada di sudut kiri mol itu. Sekali – kali, coba lah, untuk menambah pengalaman. Karena, aku belum pernah sekalipun menyentuh benda yang orang – orang menyebutnya lift itu. Dengan yakin aku menghampiri benda berpuntu dua tersebut, dan ada dua tombol di sana dengan arah keatas dan kebawah. Aku kan mau keatas, ya kutekan tombol keatas saja. Benar – benar, pintunya terbuka.
“Kiki, ngapai kamu disini?”
“eh Ratna, ada pesenan dari si mbok ni, kamu sendiri?”
“lagi cari buku aja dari lantai lima, tapi sepertinya ada yang ketinggalan, jadi sepertinya aku harus balik deh”
“oh.. ya udah, bareng aja sekalian”
Perbincangan kami semakin menghangat dan tak terasa sudah setengah jam kita berbicara ditemani suasana romantis dalam lift. Kami mulai heran kenapa lift ini lama sekali berjalannya. Hampir seperti berhenti. Kami hanya terdiam sambil berpikir positif. Namun, takdir berkata lain, dugaanku benar lift ini berhenti bergerak. Ku lihat keringat di pipi Ratna semakin deras bercucuran dan raut paniknya tak dapat di tutup – tutupi lagi.
“Braaaak... Braaak.. tolong – tolong...”
“tenang Rat, mereka pasti mengerti keadaan kita yang terjebak saat ini”
“diam kamu, bagaimana mereka bisa mengerti kalau tak ada seorangpun yang membuat mereka mengerti”
Dia mulai berteriak menggedor – gedorkan tangan kecilnya ke pintu lift macet ini. Ku coba mencegahnya dan menurunkan kepanikannya, tapi tak di hiraukannya.
Karbondioksida mulai mencekik alveolus. Ratna yang tak kuat akan cekikannya mulai terkapar tak berdaya. Segera ku gapai tangannya dan ku dekap erat – erat tubuhnya. Ini membuat detak jantungku semakin berdetak kencang, entah karena aku yang tak pernah memandang wanita sedekat ini, atau karena udara yang menipis. Sampai sekarang masih misteri.
Aku heran, mengapa tak ada seorangpun yang peduli akan nasib kita saat ini. Tapi, keadaan ini tak membuatku untuk berteriak minta tolong, bahkan rasanya ingin pertahankan posisi ini. Hingga beberapa jam berlalu, cahaya mulai terlihat dari celah pintu lift yang menjebakku. Terlihat banyak orang yang berada di depan mulut lift. Kali ini dugaanku salah, ternyata Jeritan ratna tadi sempat membingungkan orang luar. Satpampun segera mengangkat kami yang setengah sadar. Terlihat sepintas teman sekelasku yang bernama Isti di sana, tapi Ia segera pergi. Aku bertanya dalam hati, tapi ini tak penting, mungkin ia pergi karena ada urusan.
Satu jam berlalu dengan hebatnya. Kami yang setengah sadar kini telah sepenuhnya sadar. Akhirnya kami memutuskan untuk tetap pergi ke sekolah, walau kami tahu ini sudah terlalu siang. Kebetulan sekolah kami sama, hanya beda kelas saja. Ranta di sepuluh satu dan aku di sepuluh dua. Tak jauh lah. Kamipun beranjak kesekolah dengan sepedaku. Banyak orang yang melihatiku namun kubiarkan saja. Aku tak mengenal mereka.
Cobaan hari ini berlanjut ketika kami tahu bahwa gerbang sekolah telah terkunci rapat. Kami mencoba memanggil satpam yang berada di dalam pagar dan Iapun membukakan gerbangnya. Kami mulai tenang. Namun, keadaan berubah total ketika satpam itu mengucapkan kata – kata dengan nada tingginya.
“Ayo cepat masuk...! pacaran terus. Kamu pikir ini sekolah mbok kamu apa? Jam segini baru berangkat?”
Aku coba menerangkan kejadian di lift pagi tadi. Tapi ceritaku berakhir di tiang bendera. Kami yang masih agak lemas, harus menerima hukuman dari satpam sialan yang tak mau tau alasan orang. Yah.. apa boleh buat. Ini mungkin hari terburukku. Hari keramat yang memang buruk bagiku.
Ku lihat teman – temanku yang berlalu lalang di depanku sambil tersenyum aneh. Mereka seperti membicarakan sesuatu. Anehnya, Isti juga ikut dalam pembicaraan itu. Apa mereka bicarakan aku? Mungkin iya. Hah.. sudahlah.. tidak penting.
Sesekali aku pandangi lagi wajah Ratna yang sempat mampir dipundakku tadi. Ia terlihat sangat pucat. Aku sebenarnya tak tega. Tapi, keadaan memaksaku untuk merelakan senyum manisnya berubah menjadi pucat.
Akhirnya, waktu penyiksaan kami telah berakhir dan kami kembali ke kelas kami masing – masing. Sorak ramai teman – teman mengagetkanku seketika. Sempat terdengar pula teriakan Isti, “yang abis mesra – mesraan di lift, jadi pengen... hahaha...”. tak kusangka bahwa perkataan satpam tadi juga kudengar dari teman – temanku. Aku bingung dengan semua. Isti memang benar – benar ratu gosip termasyur, bahkan gosipnya tak memandang ketika itu dalam suasana terdesak atau tidak. Ini semakin parah karena perkataan Isti telah di cerna dalam pikiran teman – temanku.
Kesalah pahaman ini berlanjut dan semakin menyubur, ketika kelas sebelas aku harus satu kelas dengan Ratna. Walau Isti sudah jauh dari kita, namun gosipnya terlanjur meluas hingga tak perlu dipimpinpun sorakan ramai itu sudah otomatis keluar dari mulut teman – teman, ketika ada hal yang menyangkut aku dengan Ratna. Aku tahu Ia tertekan, toh aku juga merasa hal yang sama. Rasanya, penjelasan dari mulutku sendiripun tak akan dapat merubah penilaian mereka atas kecelakaan kecil di hari keramat itu. Mungkin, seharusnya aku percaya akan hari sakral itu, sehingga aku tak terkena imbasnya.
Kini aku hanya dilumuri beribu pertanyaan dalam hati. Mengapa aku merasa tertekan ketika mereka menghinaku? Mengapa jantungku berdetak kencang ketika di dekatnya? Apakah Ia juga merasa hal yang sama sepertiku? Apakah benar penyebab masalah ini ialah hari keramat itu? Semua masih menjadi misteri dan tersimpan rapi di dalam hatiku. Mungkin, di balik kesalah pahaman ini, ada rasa yang tersembunyi. Entah suka, sedih, cinta, bahkan benci.
Malam ini saatnya tidur, menyegarkan memori untuk bersiap mengumpulkan cerita esok. Aku yakin mbah buyut tak sabar mendengarkan ceritaku.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar